Voice Of Merta Mupu

Voice Of Merta Mupu : Cerita Tak Tertata

Motivasi Menulis

Channel Youtube

Obrolan di Dunia Nyata Diterjemahkan ke Dalam Bahasa Mimpi

Suatu hari ada yang cerita bahwa dia pernah mimpi perang dengan bajak laut menggunakan senjata api laras panjang dan granat. Setelah sadar dari mimpi ternyata TVnya hidup dan ada film perang menggunakan senjata api dan granat. Ada juga yang mimpi jalan-jalan sambil mendengar lagu, ternyata setelah sadar dia mendengarkan lagu-lagu yang berbunyi di Hp-nya.
Inti dari penomena tersebut bahwa seseorang bisa mendengarkan dan mengalami apa yang terjadi di dunia nyata terbawa ke alam mimpi. Uniknya, semalam saya mendapat pengalaman menarik tentang hal seperti itu, dimana obrolan di dunia nyata sebagian terekam ke dalam mimpi, namun obrolan tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa mimpi. Apa yang saya alami dengan cerita di atas seolah-olah sama, tetapi sebenarnya berbeda.
Pada kasus di atas hampir serupa kejadiannya antara di dunia nyata dengan di dunia mimpi. Sedangkan yang saya alami yaitu obrolan di dunia nyata dibawa ke alam mimpi diterjemahkan ke dalam bahasa mimpi. Dimana obrolan bapak saya dengan seseorang di dunia nyata dimasukan ke dalam mimpi diterjemahkan ke dalam bahasa mimpi. Dengan kata lain, mereka berbincang-binc
ang di dunia nyata sedangkan saya bermimpi. Antara perbincangan di dunia nyata dengan mimpi berbicara topik yang sama namun bahasa yang digunakan berbeda: bahasa mimpi vs bahasa realita, bahasa sehari-hari di dunia nyata.
.
Untuk memudahkan memahaminya saya akan ceritakan terlebih dulu yang terjadi di kenyataan (diketahui setelah bangun dari mimpi). Kejadiannya begini; sekitar jam 11 malam datanglah Wa D dengan anaknya bli S (sudah punya anak) ke rumah saya untuk konsultasi niskala kepada bapak saya. Kedatangannya untuk mengetahui kendala apa yang terjadi secara niskala sehingga menyebabkan penderitaan di keluarganya; sakit, kesulitan rejeki, pikiran tak tenang, dsb. Mereka pun berbincang-bincang di ruang tamu dengan bapak saya dan diteropong dengan indera keenam, sedangkan saya tidur di kamar sebelah.

Ternyata penyebabnya bahwa pekarangannya leteh (kotor secara niskala), sudah sejak lama tidak pernah dibuatkan banten penyapuh karang: ritual untuk membersihkan pekarangan. Hal ini idealnya dilakukan setahun sekali. Di rumahnya juga ada pemali: banyak benda-benda yang salah tempat di pekarangan. Hal inilah yang menimbulkan gegodaan di keluarganya. Sehingga bapak saya menyarankan untuk membuat banten penyapuh karang dan merapikan pekarangan agar tidak menaruh benda-benda sembarangan di pekarangan.
Tata letak pekarangannya juga amburadul, antara Wa D dan Bli S tinggal dalam satu pekarangan meski beda bangunan rumah (bangunan rumah lebih dari satu). Bli S bingung, pekarangannya antara dipisahkan dengan bapaknya (wa D) ataukah tetap tinggal dalam satu pekarangan? Bagusnya berdiri sendiri, berbeda pekarangan, dengan kata lain pekarangan dipisahkan. Anggaplah bli S jadi bertetangga dengan ayahnya (wa D) meski rumahnya berdekatan, yang awalnya jadi satu pekarangan kemudian berubah menjadi dua pekarangan.

Terkait dengan banten penyapuh karang, untuk saat ini Wa D dan Bli S belum siap untuk membuat banten penyapuh karang, selain karena faktor ekonomi juga karena cuntaka desa. Sehingga bapak saya menyarankan keluarganya untuk membuat banten Panglepit sebagai janji resmi kepada niskala bahwa akan membuat banten tersebut ketika sudah ada uang yang cukup. Banten panglepit ini bagaikan surat perjanjian resmi ada hitam di atas putih. Kita tidak bisa hanya janji-janji di mulut ataupun hanya berjanji dalam hati. Begitupun secara niskala kudu ada bukti perjanjian resmi dalam bentuk banten panglepit. Banten panglepit ini cukup sederhana. Selain itu, kendala yang dihadapinya, wa D dan cucunya (anaknya bli S) pernah sakit karena kalan Sang Wengi (kemarahan mahkluk gaib sebangsa jin) yang ada di barat rumahnya dekat sungai.

Setelah hampir selesai berbincang-bincang, wa D dan Bli S sudah mau pulang ke rumahnya, saya masuk ke ruang tamu karena bangun dari mimpi. Mimpinya begini:

Saya bersama bapak saya (biasa dipanggil guru) membawa motor melewati rumah Wa D dan Bli S pada malam hari. Keluarganya meminta bapakku untuk mampir ke rumahnya karena mau minta tolong, mau konsultasi niskala. Saya duduk di pekarangannya diluar pekarangan. Sedangkan bapak saya masuk ke rumahnya. Disana Wa D, Bli S, dan bapak saya berbincang-bincang. Tidak begitu terdengar apa yang dibicarakan, sepertinya masalah kaletehan karang. Entah beberapa menit berlalu, hampir selesai bincang-bincang, saya berjalan ke arah timur hendak memanggil bapak saya. Saya melihat rumahnya banyak ditumbuhi rerumputan pengganggu (gulma) dan banyak debu, seperti rumah tak terawat. Lalu keluarlah bli S dari ruangan tempat bincang-bincang tadi menemui saya.
'Bli S, kenapa rumahnya dibiarkan kotor seperti ini? Nah je disapu sesekali biar bersih rumahnya. Kalau begini rumahnya seperti rumah tak berpenghuni' ujarku sambil mengambil sapu lidi sembari menyapu halaman rumahnya agar bersih. Setelah usai di halaman rumah, saya lihat di belakang rumah banyak benda berserakan. Begitu juga di dalam ruangan. Di kolong dipannya saya melihat seekor kucing sakit dan seekor ayam sakit grubug, jalannya sempoyongan. Saya tunjuk-tunjuk pakai bambu panjang biar kucing dan ayamnya mau keluar dari kolong dipan. Soalnya kasihan hewannya sakit.
'Kalau tidak bisa sekarang membuat caru penyapuh karang, hal itu bisa ditunda, tapi harus membuat banten panglepit agar sakitnya bisa segera sembuh' ujar bapakku. (Kata-kata ini seperti berasal dari obrolan di dunia nyata terekam ke alam mimpi).

Lalu bapak saya keluar dari ruangan dan hendak pamitan. Tapi sepertinya bli S masih mau ada yang ditanyakan lagi. Lalu bli S bertanya, 'Bagaimana ya sebaiknya, apakah pekarangan Wa dengan bli dipisahkan pekarangannya ataukah dibiarkan satu pekarangan?' Tanyanya padaku, juga didengar bapakku.
'Menurut saya sebaiknya dipisahkan, bli. Karena keberuntungan seorang anak yang sudah menikah bisa dihalangi oleh ketidakberuntungan ayahnya' ujarku menjelaskannya. Dalam pikiran saya, bahwa seorang ayah yang tidak beruntung bisa menghapus atau menghilangkan keberuntungan anaknya yang sudah menikah bila si anak tinggal dalam satu pekarangan, apalagi satu rumah dengan ayahnya. Bersyukur kalau ayahnya beruntung (memiliki hoki yang bagus), sehingga bisa membuat anaknya turut serta mendapat keberuntungan. Bagaimana kalau hoki ayahnya buruk? Sang anak akan turut serta mendapat ketidakberuntungan.

Setelah merasa selesai bincang-bincang, kami pamitan untuk pulang, jalan kaki ke arah barat (tidak lagi bawa motor). Setelah sekira 100 meter dari rumahnya, saya ngobrol dengan bapak saya.
'Guru, jangan-jangan Wa D tidak buat banten Panglepit nanti, dikiranya bisa hanya janji-janji dalam hati untuk membuat banten caru pabersihan' ujarku.
'Gak boleh seperti itu, karena kalau perjanjian dengan niskala harus buat banten Panglepit.' Kata bapakku menjelaskan. Lalu saya teringat dengan bentuk banten panglepit berupa biu baan, sesantun, canang penganteb, berisi pis bolong 33 biji.

Kami pun sampai di tempat keramat dekat sungai, berhutan, jarang ada rumah. Meski malam hari kami bisa melihat yang ada di sekitarnya, seolah-olah dunia terang oleh cahaya rembulan. Di dekat tempat keramat itu saya melihat Palinggih Sang Wengi, berdiri tegak seolah menakutkan.
'Guru, ada mahkluk jadi-jadian' selorohku, bermaksud menakut-nakuti bapakku. Bapakku langsung lari tunggang langgang. Saya pun ikut lari cepat karena jadi sungguhan takut, takut ditinggal bapakku. Dan kami pun sudah sampai di dekat rumah keluarga lainnya. Namun dari belakang ada seekor anjing putih yang mengejar saya (bapak saya sudah tidak ada, entah kemana). Sebaliknya dari arah lain datang anjing saya. Ketika anjing itu hendak menerkam saya, anjing itu dihadang sama anjing saya. Mereka pun saling terkam. Mereka adu kekuatan dan akhirnya anjing tadi dikalahkan anjing saya sehingga saya terbebas dari serangan anjing tersebut. Tiba-tiba mendengar orang berbicara, namun tidak tahu siapa yang berbicara, 'Sakit karena kala-nya Sang Wengi' (kata-kata ini bermaksud menjelaskan dikejar anjing setelah lari dari tempat keramat rumah sang Wengi. Anjing simbol Kala).

Akhirnya saya tersadar dari mimpi dan kaget mendengar percakapan Wa D dengan bapak saya di ruang tamu, ternyata orang yang dimimpikan ada di rumah saya meski dalam mimpi saya berada di rumah Wa D. Saya tertawa dalam hati atas apa yang saya alami. Lalu saya tanya-tanya kembali apa yang sudah mereka obrolkan dan masalah apa yang dihadapi. Soalnya saya penasaran, apakah cocok dengan mimpi saya. Ternyata berbanding lurus dengan permasalahannya meski dalam mimpiku muncul dalam bentuk bahasa mimpi.

Bila bahasa mimpi di atas diterjemahkan ke dalam bahasa kesaharian menjadi seperti sebagaimana uraian saya di atas tersebut. Rumah ditumbuhi rerumputan maknanya pekarangan leteh, menyuruh membersihkan pekarangan artinya disuruh membuatkan banten penyapuh karang. Yang menyuruh Bhatara Hyang Guru (simbol bapak saya). Banyak benda berserakan di belakang rumah isyarat ada banyak pemali. Kucing sakit artinya kesulitan keuangan (kucing di bali dipanggil pis, pis artinya uang). Ayam simbol sang roh, ayam sakit artinya jiwa kita menderita. Hal itu terjadi akibat kaletehan pada pekarangan.

Soal opsi pemisahan pekarangan, kronologi mimpinya bercerita apa adanya. Hal itu tidak perlu ditafsirkan. Bagian obrolan tentang banten Panglepit itu bahasa Isyarat. Mimpi saya itu mencoba membaca pikiran Wa D. Sedangkan kronologi lari dari tempat keramat lalu dikejar anjing bermakna kala-nya Sang Wengi, sudah diterjemahkan pada bagian akhir mimpi.

Hal terpenting dari apa yang saya alami di atas bahwa Tuhan (bhatara Hyang Guru) mengajari saya memaknai mimpi, atau setidaknya membandingkan peristiwa dalam mimpi dengan apa yang terjadi sesungguhnya.
0 Komentar untuk "Obrolan di Dunia Nyata Diterjemahkan ke Dalam Bahasa Mimpi "
Back To Top